Public Relations (PR) itu bukan profesi dan pekerjaan, It’s just a game.

PR itu adalah soal mendengar. Untuk tetap relevan di setiap lintasan zaman, yang harus kita lakukan bersama-sama berdasarkan experience yang ada, yaitu dengan meng-enol-kan pikiran kita semua agar kita bisa menerima semua masukan yang ada dengan utuh. 

Lalu yang kedua, saat ini pendidikan di Indonesia apakah masih relevan karena fungsi pengetahuan dan menghapal sudah diambil sama Google? Yang mungkin harus diperbaiki adalah bagaimana  menganalisa PR is about logic. Bekerja dengan anak-anak muda berumur 25, 30 tahun, Saya seringkali merasakan namanya Illusion of knowledge. Mereka mencari dan mengambil data yang dibutuhkan dari Google. Namun tanpa ada analisa. Di sinilah Illusion of Knowledge terjadi. Karena begitu seseorang memegang smartphone,  melihat Google, maka ia merasa (sudah) menjadi ahli dengan mendapatkan semua (data) yang dibutuhkan. 

Padahal data dari Google itu masih data dasar, butuh diubah menjadi informasi, knowledge, insight, hingga wisdom (bagi setiap pekerjaan kita). Itu proses dari awal mendapatkan data, mengakuisisi, menganalisa, dan mengartikulasi data. Pertanyaannya, dari mana anak-anak muda itu bisa memperoleh wisdom dari data yang mereka miliki? Tentu saja bertanya kepada para senior, “mencuri ilmunya” mereka. Saya yakin para senior PR akan dengan senang hati membagikan ilmunya kepada kaum muda. 

“Mendengar itu  memproses data menjadi analisa, informasi,  dan akhirnya menjadi wisdom.”

PR itu harus mendengarkan (dari banyak sumber), karena PR bukan peramal. PR bisa menghasilkan statement, keywords, strategi, hanya kalau memperoleh feeding informasi yang benar dan presisi. Inilah kekuatan PR mendengar. Mendengar itu  memproses data menjadi analisa, informasi, dan akhirnya menjadi wisdom. Komunikasi adalah pekerjaan tim. Mereka yang suka berbicara, mungkin bisa diajari menjadi juru bicara yang benar. Bagi yang tidak suka bicara tetapi suka mendengar dan menganalisa, bisa menjadi analis yang baik. 

Berbicara tentang integritas, itu adalah soal komitmen, melihat orang setara, equal. Integritas itu adanya di kalbu, memilih “yang kanan atau yang kiri”. Integritas  tidak dibangun dalam satu malam tapi butuh pengalaman dan jam terbang panjang. Untuk menjadi seorang PR yang baik, kita harus bisa melihat prioritas. Kacamata mana yang kita pilih menjadi prioritas sehingga kita bisa bergerak. Kalau kita melihat semua prioritas, ingin menyenangkan semua orang, maka akan berhenti kerja, berhenti di tempat, karena bingung. 

Saat kita memperoleh pekerjaan, kita perlu mengecek saja hati nurani, apakah pekerjaan itu pantas kita ambil? Kerja PR itu bukan how to sell tapi how to tell. Komunikasi bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi komunikasikan apapun yang kita lakukan dalam jumlah, volume, kecepatan, velocity, ragam, variety, ketepatan, dinamika, dan credibility yang akan menghasilkan value. PR-nya benar, ekosistemnya benar, environment-nya benar, kita bisa jalan-jalan bersama dengan langkah yang sama di tujuan yang sama dan demi kebaikan bersama-sama pula. 

Dalam imajinasi Saya, sosok PR masa depan adalah yang adaptif terhadap mindset. Kenapa dimulai dengan mindset? Karena tubuh kita bicara, bertingkah laku itu semua digerakkan oleh pikiran, mindset, dan sebaiknya pikiran itu dimulai dengan bahasa kalbu, suara hati. Jadi kalau yang pertama kali dilakukan adalah adaptif mindset, yuk, cek lagi tujuan-tujuan, target-target di kantor, kehidupan bisa dijalani enggak saat ini? Bisa dijalani itu bukan berarti kita menurunkan kualitas atau menurunkan ekspektasi. Mungkin malah ini terjadi lompatan yang begitu besar. Jadi kita cek untuk kita lihat challenge-nya mana di dalam semua kejadian itu. Pasti ada kesempatan yang challenging yang membuat kita menjadi lebih baik. 

Kedua, Saya lebih suka tentang real life communication. Saya kadang-kadang  kaget mendengar kalimat begini, misalnya sedang bertamu di sebuah perusahaan: “Mba Ika disuruh masuk ketemu Pak bos.” Bolehkah kalimatnya diganti begini: “Mba Ika, sudah ditunggu oleh semua orang.” Hal itu terlihat remeh temeh. Tapi generasi muda sekarang harus diajari soal-soal “remeh” dalam komunikasi sehari-hari. Diajari memilih kata-kata yang membuat energi kita menjadi sama. Tapi kalau tadi dibilang “disuruh ke sana”, kesannya saya adalah orang bawahan yang disuruh. “Ika please ke sana, sudah ditunggu loh.” Berbeda kan? Perilaku berbicara seperti ini harus kita biasakan  dari atasan maupun kepada bawahan karena pekerjaan PR adalah kerja tim, enggak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Yang ada senior dalam pengalaman, tapi kerja itu dalam tim. 

Ubah Mental

Saat ini, infodemi  lebih menakutkan daripada pandemi itu sendiri, karena menyekap mental kita. Begitu menyekap mental, semua tubuh kita tidak bisa bergerak, yang ada kita diam, duduk, dan bingung. Kita sendiri yang harus mengubah dari mental ketakutan menjadi berani, mental pesimis jadi optimis, mental  dapat sial menjadi dapat berkah. Saya yakin, apapun yang kita pikirkan itu mengundang semesta untuk datang, sehingga jangan salah bicara dengan semesta. Apapun yang dibilang coba-coba itu enggak akan berhasil. 

Oleh sebab itu, sebagai praktisi PR kita tidak boleh panik diantara orang yang panik. Artinya,  kita tidak boleh pesimis meskipun di dalam hati mungkin kita pesimis dengan situasi ini. Tetapi kita harus tetap memberikan semangat, bahwa pandemi ini akan berlalu dan semua yang ada sekarang harus kita terima sebagai suatu kenyataan dan kita lihat hikmahnya. Karena dalam setiap krisis itu pasti muncul peluang (opportunity). 

Sekarang masalahnya tergantung dari kepekaan kita. Jangan sampai misalnya dalam situasi seperti ini kita promosi besar-besaran. Promosi besar-besaran dalam arti enggak (peka) sesuai dengan situasi pandemi. Tapi bukan kita harus larut di tengah pandemi. Apa yang kita lakukan bisa membuat orang berbuat hal yang sama seperti yang kita perbuat. Menginspirasi masyarakat. PR itu kan change, change behaviour, change attitude. Nah, hal ini lalu kaitkan dengan saat memberikan sumbangan, saat memberikan semangat positif. 

Kita memberikan informasi itu pada dasarnya supaya ada antisipasi, jangan sampai kita kena COVID-19. Tapi bukan dengan menakut-nakuti. Saya melihat COVID-19 ini bukan sesuatu yang satu-satunya membuat benar-benar mematikan. Kalau melihat dari data yang ada, yang meninggal itu justru memiliki penyakit lain. Karena adanya COVID-19, kemudian imunitasnya menurun, penyakit yang lain itu menjadi lebih parah jadi kemungkinan besar meninggalnya karena penyakit lain, tetapi yang diekspos adalah COVID-19. 

Bagi Saya, yang punya message/konten itu adalah client. Kami (agensi PR) menjadi “tukang wrapping dan distribusi issues”. Dalam otomatisasi teknologi terjadi degradasi besar. Kita tahu teknologi itu enggak independen. Teknologi itu enggak objektif, dibangun dengan pikiran dan idealisme orang-orang tertentu sehingga teknologi akan membantu bagi yang mengerjakan menggunakan teknologi itu. Bagi PR sendiri, teknologi adalah tools, sarana, perpanjangan tangan manusia yang bisa dikerjakan robot membuat manusia lebih gampang bekerja. Tetapi tetap ada nilai (values) dari manusia yang enggak bisa digantikan robot, yaitu social empathy, sensitif experience, yang membuat PR consultant akan men-support PR officer. Kadang-kadang  PR officer dipilih karena jabatan. PR consultant karena punya client  banyak, jadi punya referensi lebih banyak saja. 

PR itu masalah passion. Saya melihat PR bukan pekerjaan, this is a games yang membuat Saya selalu senang, selalu belajar dari manapun juga.  Jika kita harus meredefinisi, maka itu bukan PR-nya, tapi tools PR apa yang sebenarnya dibutuhkan generasi sekarang? Karena sikap dari zaman ke zaman kan sama, hanya tools-nya saja yang berbeda. Balik lagi kuncinya PR adalah mendengar bukan berbicara. 

Third Party Endorser

Bagaimana jika informasi yang ingin disampaikan ke publik memiliki sifat bertolak belakang antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan publik? Yang harus kita lakukan pertama kali adalah melihat prioritas kita di mana? Apapun yang kita sampaikan ke publik harapannya publik akan menerima omongan kita. Apabila kebijakan kita kontra dengan yang diharapkan publik dan kita tetap harus menjalankan kebijakan itu, maka jangan berbicara langsung kepada publik. Sebaiknya, carilah diantara stakeholder yang kita miliki, yang secara ikhlas mau menjadi third party endorser perusahaan kita. 

“Guna membangun third party yang ikhlas untuk membantu perusahaan, maka banyaklah  bergaul dan berteman. Apabila kita banyak memberikan kebaikan kepada orang lain, nanti kebaikan akan datang sendiri kepada kita.”

PR officer harus bicara dengan mereka, bahwa perusahaan kita membutuhkan  dukungan, sebab jika mengikuti kemauan publik, maka kita semua akan hancur bersama. Begitu third party-nya sudah cukup banyak, sudah berbicara baik ke publik, baru kita bicara, membuat statement. Saya kira kuncinya adalah membangun third party di kalangan kita supaya bisa menjadi ambassador, ketika ada problematika atau bahkan krisis bisa menjadi advokat kita, bisa menjadi brand advokat. 

Guna membangun third party yang ikhlas untuk membantu perusahaan, maka banyaklah bergaul dan berteman. Apabila kita banyak memberikan kebaikan kepada orang lain, nanti kebaikan akan datang sendiri kepada kita. Kalau kita tidak punya teman banyak, maka bertemanlah dengan orang yang temannya banyak. Jadi bagi praktisi PR, tidak ada yang tidak bisa. Tidak ada yang impossible, semua possible. Itulah mindset yang dibangun kalau PR punya passion. Jadi banyak bergaul itu akan membangun third party yang ikhlas, yang bisa menjadi relawan bagi korporasi kita suatu saat. 

“Apabila kita banyak memberikan kebaikan kepada orang lain, nanti kebaikan akan datang sendiri kepada kita.”

Kita harus menyepakati bahwa sopan santun itu wajib kita jaga terutama buat yang junior. Kedua, kita bicara bukan sekadar menyampaikan pesan, tapi untuk mendapatkan feedback. Jadi kalau mau menyampaikan sesuatu, kita harus mencari referensinya. Saya diajarkan riset mulai data yang hasilnya nanti mengamini apa yang kita pikirkan. Satu hal yang harus dilakukan seorang PR yang benar-benar punya passion, tiap bangun pagi, niat (nawaitu)-nya  adalah ingin mendapat ilmu, feedback – nya akan dapat banyak hal tabungan pengetahuan yang tersimpan di otak kecil kita, yang kelak akan keluar kalau ada trigger-nya. Seperti masalah komunikasi yang terjadi sehari-hari, kalau kita banyak membaca buku, ketemu orang, dapat nasihat, pengalaman, itu akan jadi endorser data yang sangat powerful untuk bicara dengan para senior. Saya rasa para senior kalau diajak ngomong dengan lemah lembut, dengan santun, pasti akan mengiyakan saja (ide-ide juniornya). Ini menjawab kegelisahan, kegalauan generasi non-millennials kalau ketemu teman-teman  millennials sering ada kesan, bahwa anak-anak muda seperti tidak santun betul sama orang tua.

Apabila seorang praktisi PR ingin tampil dengan karakter tertentu, yang paling gampang adalah nyontek. Lihatlah banyak orang PR yang begitu hebat, conteklah cara berdandannya, cara berpikirnya, tulisan-tulisannya, cuit-cuitannya. Dengan “mencontek” itu sebenarnya kita tengah menelaah dan memasukkan beberapa referensi ke dalam mindset kita. Itu semua adalah trigger yang otomatis akan keluar, ketika misalnya suatu saat kita diminta untuk berbicara di depan publik. Sehingga keluar potensi-potensi kita dari hasil referensi “mencontek” orang-orang hebat selama ini. Pribadi kita dengan cepat akan menjadi prima. Jadi ilmunya adalah mencontek, mengkopi, toh kehidupan kita kan mengkopi dari alam. Bahasa sekarang contek, tiru, modifikasi tentu dengan mindset positif.

Saya suka menggunakan metodologi metafora saat bicara dengan setiap orang apalagi ketika tengah melakukan recruitment. Saya melihat orang baru bukan penampilan fisiknya. Saya justru akan bertanya dia lebih senang bekerja sendiri atau bekerja ramai-ramai? Sekira orang tersebut lebih suka bekerja sendirian, meski sesekali tetap harus berkumpul dengan timnya, maka ia pantas menjadi analis data. Sehingga jangan ditempatkan sebagai client service, karena hanya akan membuat ia tertekan. Kaum muda itu adalah sumber inspirasi. Saya senang mengobrol dengan mereka karena suka muncul ide dan cara berpikir yang aneh-aneh. 

Sales Outcome

Komunikasi internal perlu juga lho. Dalam membangun komunikasi internal agar lebih kuat, kita perlu mencari dulu emosi dan semangat di internal itu seperti apa? Dari hal tersebut lalu kita analisa, apa yang menjadi kesamaan dan perbedaan diantara internal karyawan. Kesamaan menjadi kekuatan, perbedaan menjadi challenge untuk diperbaiki. Lalu kita sepakati bersama mau bekerja dengan (gaya dan model) komunikasi seperti apa? Jadi benar-benar terkesan (kebijakan komunikasinya) dari bawah ke atas bukan dari atas ke bawah. Cara-cara demikian lebih disenangi karyawan. Selanjutnya kita sepakati bersama timeline dan seterusnya. 

Intinya kita mesti membangun semangat, menciptakan mindset yang sama di internal karyawan, supaya kita bisa melangkah bersama. Jika ini terwujud, maka menjadi potensi untuk mendapatkan sales outcome yang besar. Tidak mungkin ada yang bisa kita ambil tanpa kita investasi dulu. Pengalaman Saya mengerjakan employer branding sungguh menarik, bahwa dengan branding dari employer, hal itu mampu menaikkan kredibilitas, menguatkan value company begitu tinggi. Karena apa yang terjadi di tubuh internal perusahaan, adalah contekan dan referensi paling valid dari korporasi untuk diterima masyarakat umum. 

Pada hakikatnya, PR pemerintah dan PR di korporasi itu sama. Namun berbeda dengan PR consultant. PR officer (pemerintah maupun korporasi), mempunyai message dan tujuan. Mereka sangat memahami tujuan-tujuan korporasi. Masalahnya ada banyak hal yang ditangani oleh PR officer dalam waktu hampir bersamaan setiap hari, termasuk urusan administrasi, sehingga tidak ada waktu bagi mereka untuk membuat  strategi besar, melihat kompetitor seperti apa. Sehingga fungsi ini diambil oleh PR consultant. Kadang-kadang PR officer mengatakan telah memiliki press monitor sendiri,  media relations sendiri. Nah, PR consultant mengerjakan hal-hal di luar itu yang mendukung apa yang sudah dimiliki oleh PR officer. Kekuatan PR consultant adalah kecepatan dan jaringan experience serta banyak referensi. Itu semua tidak bisa didapat dari sekedar baca buku dan liat Youtube. Jam terbang kuncinya.Temui banyak pakar dan minta apa-apa yang tidak dapat di share di muka publik. Pasti lebih seru dan original.

Guna menajamkan ketrampilan kita dalam mengelola pekerjaan PR, banyaklah membaca, bergaul, banyak mendengar, dan bahkan bertemanlah dengan orang yang usianya setidaknya 10 tahun lebih tua dari kita. Hal itu akan membuat kita mendapat banyak ilmu dan wisdom dari mereka. Berteman dengan generasi sebaya,  itu adalah network masa depan, sehingga kelak kita membutuhkan sesuatu, sudah ada network yang cukup luas.

Sesuai judul diatas, bagaimana menjadi PR Ideal, silahkan setuju untuk setuju atau tidak setuju, ketidaksetujuan anda membuat makin luasnya pemahaman kita semua dalam dunia PR.

Ika Sastrosoebroto – CEO Prominent PR

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *